Kamis, 17 Juli 2008

Forum Komunikasi Alumni SISPENA

Susunan PIC Forum Komunikasi Alumni SISPENA

Coordinator : Rully Jatmiko (A2-XVI)
Responsibility: Moderasi jalur komunikasi Alumni ke pengurus SISPENA

Relationship : Sang “Doni” Anggara (A2-XVIII), Ade Errawan R. (A2-XIX)
Responsibility: Identifikasi dan perluasan jaringan alumni SISPENA

Finance : Rahman Subagio (A2-XVIII), Seno (A2-XXX)
Responsibility: Mencatat dan mengatur cash flow dana abadi alumni SISPENA

Database : Elisa Kuntil (A2-XXVIII), Fafo (A2-XXIX)
Responsibility: Penataan dan penyimpanan database alumni SISPENA

R&D : Badra Dewanto (A2-XXI), Hendro Wicaksono (A2-XXI), Aulia Rahman (A2-XXVIII)
Responsibility: Penggalian informasi sebagai kontribusi bagi pengurus SISPENA


Rekening dana abadi alumni SISPENA
Nama di Rek. : Rahman Subagio
No. Rekening : 0248191077
Bank Unit : BCA KCU Jember
Contact person dan PIC dana alumni SISPENA harap hubungi:
Rahman Subagio 081358855992


Mohon dukungannya....

Jumat, 11 Juli 2008

Forum Komunikasi Alumni

Malam itu, sejenak waktu berputar berlawanan arah. Kami yang bertemu dalam rindu lama, membicarakan masa depan dari sebentuk masa lalu. Ini adalah wujud terima kasih kami untukmu yang telah andil menggores pribadi dalam waktu yang sangat singkat. Kami telah hidup dalam pusaran waktu sendiri, tapi selama kau masih ada di hati kami, selama itu pula kau akan tetap lestari.
Foto-Foto disini>>>

Jumat, 04 Juli 2008

Kenangan Lahirnya SISPENA

Pagi itu, ketika Tuhan membuka jendela sorga
Tuhan melihatku dan menyapa:
“Apa harapanmu…?”
“Subhanallah…memory di otak hamba aktif kembali, ya Allah.

Malam itu 8 Oktober 1977, 01.00 WIB di Jalan Suprayitno XI/9 (sekarang Jl. Manggis XI/9) Jember (di rumah Achmad Burhanudin Taufik/Uut, sekarang dia staf BPKP Pusat Jakarta), dalam selimut kantuk yang amat sangat, dikejar oleh waktu yang terus merayap, hamba kuatkan hati, kuatkan diri, untuk rencana besar hamba dan kawan-kawan.

Ya Allah…

Pagi itu, sekitar pukul 10.00 WIB..
bendera itu harus berkibar.
Dalam semangat yang membara.
Demi sebuah cita-cita bersama: SISPENA.

Ya Tuhann…

Pagi ini, jelang 31 tahun
hamba hanya menatap dalam-dalam
bendera yang hamba tulis
dalam kondisi darurat beserta kantuk yang menyengat itu.

Tak terasa
ada setitik air mata
yang menggelinang di pelupuk.

Ya Tuhan…
Semoga bendera itu
senantiasa berkibar,
dalam semangat kebersamaan
yang mendalam.

Seiring dengan semangat hamba dan kawan-kawan saat itu, dan semangat yang menggebu-gebu saat ini. Hamba ingin selalu mengumandangkan SALAM SATU JIWA DARI BUMI AREMA, kepada Adik-adik SISPENA
yang selalu mengumandangkan SALAM RIMBA.”

Catatan :
Sampaikan SALAM RIMBA kepada teman-teman ex SISPENA 1977-1980:
DEWANTO NUSANTORO (Nus)
NIRWAN DEWANTO (Nirwan)
HERI WIBOWO SELAKSONO (Heri)
ACHMAD BURHANUDIN TAUFIK (Uut)
AGUS HARSONO
NURDIN
EKO RACHMADI

Mari kita do’akan juga Almarhum KOESBANDI yang telah mendahului kita pada tahun 1978, setelah kena Malaria saat KEMAH BERSAMA SISPENA di Pantai NANGGELAN, Bande Alit, Ambulu - Jember.
Semoga Almarhum, saat ini berada di Sorga Firdaus, tempat yang paling mulia di sisi-Nya. Amienn…

Malang, 23 Juni 2008

Kontributor: Eko Susilo Adi Utomo (Echot)
HP: 0811 366 xxx; 0817 325 xxx

Minggu, 25 Mei 2008

Pak Tukimin di Pantai Nanggelan

Dengan napasnya yang bak kereta tua, Tukimin (48), warga Desa Sododadi, Kecamatan Tempurejo terus mendaki pinggang Pager Gunung. Sebotol air minum yang isinya tinggal separuh bergelantungan disalah satu sisi alang-alang yang dipikulnya. Dibawah pohon Keben, Tukimin berhenti melepas lelah, sebelum tanjakan berikutnya dilalui. Jelas beban alang-alang yang dibawanya sangat berat, tapi bagi Tukimin masih lebih berat beban tanggung jawabnya terhadap keluarga. Mencari makan untuk lima orang dan biaya sekolah ketiga anaknya.

Saat ditanya, sambil mengisap rokok kawungnya, Tukimin mengaku tiap hari ia berangkat mencari alang-alang di hutan Nanggelan, kawasan konservasi Taman Nasional Meru betiri (TNMB). Tidak ada pilihan lain, suka atau tidak ia harus melakukan pekerjaan ini. Karena hanya pekerjaan itu yang bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama keluarga.

Di sebelah rumahnya, ia punya sebidang tanah yang ditanami ketela pohon yang bisa dipanen 3 bulan sekali. Hasilnya tidak seberapa. Subuh ia berangkat naik sepeda ontel dari rumahnya menuju Dusun Pager Gunung yang berbatasan dengan hutan kawasan TNMB. Dari sini ia berjalan kaki sejauh 4 Km menuju tempat ia mencari alang-alang dihutan Nanggelan.

Di hutan Nanggelan, Tukimin sudah punya "kapling wilayah" tanaman liar alang-alang. Di kawasan ini ada sejumlah pencari alang-alang seperti dirinya. Mereka juga sudah mempunyai "kapling" sendiri-sendiri.

Menunggu Kering
Tukimin dan beberapa pencari alang-alang lainnya, mengungkapkan bahwa ia harus membabati alang-alang yang ada terlebih dulu. Kemudian menjemurnya diatas lokasi sekitar. Cara yang sudah lazim ini untuk mempermudah membawanya. Alang-alang kering lebih ringan membawanya. "Lagi pula begitu sampai ditempat pengepulan, bisa langsung dibayar," tandas Tukimin.

Sudah 15 tahun Tukimin bekerja mencari alang-alang di Nanggelan. Alang-alang itu tidak pernah habis, karena selesai dibabat tumbuh lagi. Biasanya, kalau alang-alang masih muda dimakan oleh banteng liar, sementara yang tua banteng tidak suka. Banteng sering datang secara berombongan sampai 15 ekor, termasuk anak banteng.

Awal ketemu gerombolan banteng, Tukimin takut dengan memanjat pohon. Tapi ketika sudah sering ketemu situasi seperti itu, tidak merasa takut lagi. "Kalau saya ingat-ingat lucu juga, saya sering lari ketakutan. Sekarang kami biasa saja meskipun banteng berada sangat dekat dengan saya," tambahnya.

Ia mengaku sering juga bertemu dengan babi hutan, ular phyton sebesar pohon pinang. Sekarang Tukimin dan rekan-rekannya berprinsip tidak mengganggu, mereka yakin binatang-binatang itu juga tidak akan mengganggunya. "Niat saya baik, kalau masih dilindungi yang kuasa, Insyaallah kami selalu selamat," kilahnya.

Alang-alang, cerita Tukimin, banyak dimanfaatkan untuk atap gudang pengopenan tembakau milik PTPN. Sudah ada pengepulnya. Sepikul dibeli Rp 30 ribu. Ia hanya mampu menyetor sepikul tiap hari yang biasa ia kerjakan sejak pagi hingga sore. Tukimin merasa bersyukur dengan pekerjaan itu, meski cukup berat. Toh ia mampu menyekolahkan 2 anaknya di SMA Pancasila dan satu anak lagi duduk di SMP Negeri Ambulu.

Tukimin tak ingin mewariskan pekerjaannya pada anak-anaknya. Ia berharap ketiga anaknya bisa bekerja di kota. "Biarlah saya yang membanting tulang untuk sekolah anak saya. Semoga anak saya bisa menikmati perjuangan keringat saya," doanya. – dewanto

sumber: http://umkm- jember.net/


"Dewanto" ini mungkin Mas De, pendiri Sispena...

Contributor: Arief Yudhanto