Minggu, 25 Mei 2008

Pak Tukimin di Pantai Nanggelan

Dengan napasnya yang bak kereta tua, Tukimin (48), warga Desa Sododadi, Kecamatan Tempurejo terus mendaki pinggang Pager Gunung. Sebotol air minum yang isinya tinggal separuh bergelantungan disalah satu sisi alang-alang yang dipikulnya. Dibawah pohon Keben, Tukimin berhenti melepas lelah, sebelum tanjakan berikutnya dilalui. Jelas beban alang-alang yang dibawanya sangat berat, tapi bagi Tukimin masih lebih berat beban tanggung jawabnya terhadap keluarga. Mencari makan untuk lima orang dan biaya sekolah ketiga anaknya.

Saat ditanya, sambil mengisap rokok kawungnya, Tukimin mengaku tiap hari ia berangkat mencari alang-alang di hutan Nanggelan, kawasan konservasi Taman Nasional Meru betiri (TNMB). Tidak ada pilihan lain, suka atau tidak ia harus melakukan pekerjaan ini. Karena hanya pekerjaan itu yang bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama keluarga.

Di sebelah rumahnya, ia punya sebidang tanah yang ditanami ketela pohon yang bisa dipanen 3 bulan sekali. Hasilnya tidak seberapa. Subuh ia berangkat naik sepeda ontel dari rumahnya menuju Dusun Pager Gunung yang berbatasan dengan hutan kawasan TNMB. Dari sini ia berjalan kaki sejauh 4 Km menuju tempat ia mencari alang-alang dihutan Nanggelan.

Di hutan Nanggelan, Tukimin sudah punya "kapling wilayah" tanaman liar alang-alang. Di kawasan ini ada sejumlah pencari alang-alang seperti dirinya. Mereka juga sudah mempunyai "kapling" sendiri-sendiri.

Menunggu Kering
Tukimin dan beberapa pencari alang-alang lainnya, mengungkapkan bahwa ia harus membabati alang-alang yang ada terlebih dulu. Kemudian menjemurnya diatas lokasi sekitar. Cara yang sudah lazim ini untuk mempermudah membawanya. Alang-alang kering lebih ringan membawanya. "Lagi pula begitu sampai ditempat pengepulan, bisa langsung dibayar," tandas Tukimin.

Sudah 15 tahun Tukimin bekerja mencari alang-alang di Nanggelan. Alang-alang itu tidak pernah habis, karena selesai dibabat tumbuh lagi. Biasanya, kalau alang-alang masih muda dimakan oleh banteng liar, sementara yang tua banteng tidak suka. Banteng sering datang secara berombongan sampai 15 ekor, termasuk anak banteng.

Awal ketemu gerombolan banteng, Tukimin takut dengan memanjat pohon. Tapi ketika sudah sering ketemu situasi seperti itu, tidak merasa takut lagi. "Kalau saya ingat-ingat lucu juga, saya sering lari ketakutan. Sekarang kami biasa saja meskipun banteng berada sangat dekat dengan saya," tambahnya.

Ia mengaku sering juga bertemu dengan babi hutan, ular phyton sebesar pohon pinang. Sekarang Tukimin dan rekan-rekannya berprinsip tidak mengganggu, mereka yakin binatang-binatang itu juga tidak akan mengganggunya. "Niat saya baik, kalau masih dilindungi yang kuasa, Insyaallah kami selalu selamat," kilahnya.

Alang-alang, cerita Tukimin, banyak dimanfaatkan untuk atap gudang pengopenan tembakau milik PTPN. Sudah ada pengepulnya. Sepikul dibeli Rp 30 ribu. Ia hanya mampu menyetor sepikul tiap hari yang biasa ia kerjakan sejak pagi hingga sore. Tukimin merasa bersyukur dengan pekerjaan itu, meski cukup berat. Toh ia mampu menyekolahkan 2 anaknya di SMA Pancasila dan satu anak lagi duduk di SMP Negeri Ambulu.

Tukimin tak ingin mewariskan pekerjaannya pada anak-anaknya. Ia berharap ketiga anaknya bisa bekerja di kota. "Biarlah saya yang membanting tulang untuk sekolah anak saya. Semoga anak saya bisa menikmati perjuangan keringat saya," doanya. – dewanto

sumber: http://umkm- jember.net/


"Dewanto" ini mungkin Mas De, pendiri Sispena...

Contributor: Arief Yudhanto